REKONTRUKSI
IDEOLOGI CAK NUR
Hanya
dengan Al-Qur’an dan terjemahnya kita sudah dapat memakai dan memelintir
ayat-ayat suci dengan bebasnya. Masalah kemampuan bahasa arab, asbabun al-nuzul
dan tetek bengek lainnya ‘tidak dipentingkan’. Memang lazimnya demikian. Toh,
semuanya akan berpusing-pising pada tafsir. Itu bahasa sadisnya saat kita
berhadapan dengan majelis pengajian pada umumnya.
Praktik
tadi sungguh berbeda saat kita berhadapan dengan naskah Nilai-nilai Dasar
Perjuangan/Nilai Identitas kader (selanjutnya ditulis NDP), sebuah rumusan
islam yang Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) yang didirikan pada 5 februari 1947. Naskah
NDP itu sendiri baru disahkan pada Kongres HMI IX di Malang (Mei 1969). Untuk
memahami, apalagi mengajarkan, NDP kita harus menjalani praktik-praktik ritual
tertentu yang tidak sembarang orang dapat melakukannya, mulai dari Basic
Training (Latihan Kader 1), pendalaman NDp pasca LK, tarining Up Grading NDP,
Senior Course sampai training instruktur NDP. Kita juga tidak boleh
meninggalkan wirid intensif dengan membaca karya-karya Nurcholis Majid (Cak
Nur).
PEMBALSEMAN
CAK NUR
Mengapa
hal ini dapat terjadi? Banyak alasan dapat dikemukakan. Pertama, pembalseman
cak Nur secara sistematis. Pengaguman terhadap Cak Nur secara sistematis. Pengaguman
terhadap Cak Nur membuat semua orang merasa rendah diri ketika berhadapan dengan
pemikiran-pemikirannya. Penjara imajinasi ini mengkondisikan Cak Nur laksana
Tuhan bagi agama HMI. Ia bersabda di puncak gunung dan umat dibawahnya cuma mengaminkannya.
Fobia kritik dijadikan alasan utama melarang dan menghakimi orang agar berbuat
hal yang sebagaimana dirinya.
Padahal,
NDP bukan tafsir kitab suci, juga bukan kumpulan hadist. Orang lupa, cak Nur
yang membuat draft NDP di periode 69-an berbeda dengan Cak Nur millenium baik
dari sisi usia, intelektualitas, pengalaman dan lain-lain. NDP merupakan sebuah
cara pandang Islamala Cak Nur muda, yang ekstrimnya, belum tentu benar. Repotnya,
kader HmI sulit memahami revolusi pemikiran seseorang yang dapat berubah
seiring waktu, kontemplasi dan kedewasaan. Adalah hal biasa pemikiran masa lalu
tidak lagi sesuai dengan pemikiran masa kini. Tidak ada alasan untuk takut
mengkritik Cak Nur muda.
Mengkritisi
NDP tidak ada hubungannya sama sekali dengan penghormatan kepada Cak Nur. Cak Nur
tetap kita hormati dan terhormat dengan sendirinya ketika pemikiran-pemikirannya
turut memperkaya khazanah pemikiran Islam Indonesia. Cak Nur adalah sedikit
tokoh yang pemikiran briliyannya didengar betul oleh paling tidak empat
presiden dari Soeharto sampai Gur Dur.
BIAS FIGUR DALAM KERJA
Kedua,
bias personalisasi dalam realitas kolektif. Sesungguhnya perumusan NDP
dihasilkan dari kerja kolektif, bukan individual. Beberapa bagian NDP jelas
dikerjakan oleh kader muda HmI lainnya, seperti Endang Saefudin Anshari, Saqib
Mahmud, M Dawam Rahardjo dan yang lain. Bukan tidak mungkin terjadi benturan
ide dan paradigma satu sama lain. Penguapan konsistensi ideologi dapat
berbanding lurus pada wilayah ini.
Ketiga,
pada saat itu, arus pemikiran keislaman disemarakkan oleh pertentangan
yurisprudensi simbolis antara berbagai organisasi Islam tradisional dan
modernis; disisi lain, terbatasnya wacana keislaman alternatif dan referensi-ditandai
dengan sangat minimalnya peredaran buku-buku pemikiran keislaman berbahasa
indonesia-turut memainkan peranan yang tidak sedikit pada gaya bahasa,
kedalaman bahasan dan kelengkapan tema NDP. Apalagi saat itu HmI sedang berada
pada dua arus besar konflik politis-ideologis dengan CGMI dan rezim
transisional dari Orla ke Orba.
Dengan
seluruh fenomena diatas, wacana-wacana keagamaan alternati-yang mungkin bukan
sesuatu yang “luar biasa” dimasa kini-seperti mendapat momentum. Pemikiran-pemikiran radikal, Ahmad
Wahib misalnya, menjadi sesuatu yang wah diperhadapkan dengan
pemikiran-pemikiran keislaman konvensional saat itu.
Pada
posisi inilah kita dapat mencoba memahami mengapa dalam suatu kurun waktu yang
panjang, NDP menjadi sesuatu yang khas dan sulit untuk dikoreksi. Keterjagaan
momentum ini, secara alamiah, terus “dilestarikan” dengan semakin gemilangnya tokoh-tokoh perumus
NDP dalam konstelasi pemikiran sosial keagamaan di Indonesia. Hal berbeda
mungkin akan kita temukan seandainya para perumus NDP berevolusi sebagai
orang-orang kebanyakan sehingga tidak populer.
Akhirnya,
kita juga paham mengapa banyak kader tidak memahami naskah NDP, meskipun
membaca berulang kali. Ketidakmengertian dinisbahkan pada kebekuan intelektual
mereka dan bukan pada naskahnya. Setiap kali selesai membaca yang berakhir
dengan kebingungan, setiap kali itu pula kader seakan berkata bahwa ia ternyata
begitu bodoh dan masih saja bodoh meskipun telah membaca referensi-referensi
lainnya.
PENGAPURAN INTELEKTUAL
Keempat,
pengapuran intelektualisme, akibat semakin menggejalanya wacana politis praktis
ketimbang intelektualisme. HMI yang menang perang bharatayudha melawan PKC/CGMI
dan anasir Orla lainnya seperti ketiban pulung. Gelombang besar mahasiswa yang
mendaftar sebagai kader baru pasca Orla ternyata tidak berdampak signifikan
pada pembaruan dan pematangan teologis. Memang format dan materi perkaderan
senantiasa terus berkembang, tapi semua itu tidak dibarengi dengan peninjauan
ulang seluruh nilai yang menjadi landasan ideologis HmI.
Perkembangan
struktural konstelasi politik dan kesibukan lainnya membuat kader alumni-alumni
HmI boleh dikata tidak dapat lagi mencurahkan sedikit perhatian kepada
materi-materi utama perkaderan yang mendasar. Bahkan fenomena bombastis diatas
dijadikan salah satu alasan untuk tidak menoreh ttinta merah pada materi
ideologi. Apalahi yang harus diotak-atik, kalau dengan keadaan sekarang saja
HmI sudah begitu besar, kader-kadernya banyak yang sudah menjadi orang dan
menjadi motor diwilayah strategis.
Alaih-alih
memperbarui, keberadaan NDP diperkokoh dengan polesan dalil-dalil ayat suci
sebagai lampiran untuk mencuatkan dimensi keagamaan naskah tersebut. Kongres
diadakan sebagai legitimasi naskah. Padahal, perangkat hukum yang menopang bagi
kemungkinan diadakannya sebuah rekonstruksi naskah ideologi sudah cukup
memadai.
Lengkaplah
sudah mistifikasi NDP. Ia merupakan naskah suci, sakral sehingga anti kritik.
Padahal, sakaralisasi pada segala sesuatu selain Allah adalah praktik
kemusyrikan. (Anandito)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar