Jumat, 09 Juni 2017

BULETIN

REKONTRUKSI IDEOLOGI CAK NUR

Hanya dengan Al-Qur’an dan terjemahnya kita sudah dapat memakai dan memelintir ayat-ayat suci dengan bebasnya. Masalah kemampuan bahasa arab, asbabun al-nuzul dan tetek bengek lainnya ‘tidak dipentingkan’. Memang lazimnya demikian. Toh, semuanya akan berpusing-pising pada tafsir. Itu bahasa sadisnya saat kita berhadapan dengan majelis pengajian pada umumnya.

Praktik tadi sungguh berbeda saat kita berhadapan dengan naskah Nilai-nilai Dasar Perjuangan/Nilai Identitas kader (selanjutnya ditulis NDP), sebuah rumusan islam yang Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) yang didirikan pada 5 februari 1947. Naskah NDP itu sendiri baru disahkan pada Kongres HMI IX di Malang (Mei 1969). Untuk memahami, apalagi mengajarkan, NDP kita harus menjalani praktik-praktik ritual tertentu yang tidak sembarang orang dapat melakukannya, mulai dari Basic Training (Latihan Kader 1), pendalaman NDp pasca LK, tarining Up Grading NDP, Senior Course sampai training instruktur NDP. Kita juga tidak boleh meninggalkan wirid intensif dengan membaca karya-karya Nurcholis Majid (Cak Nur).


PEMBALSEMAN CAK NUR

Mengapa hal ini dapat terjadi? Banyak alasan dapat dikemukakan. Pertama, pembalseman cak Nur secara sistematis. Pengaguman terhadap Cak Nur secara sistematis. Pengaguman terhadap Cak Nur membuat semua orang merasa rendah diri ketika berhadapan dengan pemikiran-pemikirannya. Penjara imajinasi ini mengkondisikan Cak Nur laksana Tuhan bagi agama HMI. Ia bersabda di puncak gunung dan umat dibawahnya cuma mengaminkannya. Fobia kritik dijadikan alasan utama melarang dan menghakimi orang agar berbuat hal yang sebagaimana dirinya.

Padahal, NDP bukan tafsir kitab suci, juga bukan kumpulan hadist. Orang lupa, cak Nur yang membuat draft NDP di periode 69-an berbeda dengan Cak Nur millenium baik dari sisi usia, intelektualitas, pengalaman dan lain-lain. NDP merupakan sebuah cara pandang Islamala Cak Nur muda, yang ekstrimnya, belum tentu benar. Repotnya, kader HmI sulit memahami revolusi pemikiran seseorang yang dapat berubah seiring waktu, kontemplasi dan kedewasaan. Adalah hal biasa pemikiran masa lalu tidak lagi sesuai dengan pemikiran masa kini. Tidak ada alasan untuk takut mengkritik Cak Nur muda.

Mengkritisi NDP tidak ada hubungannya sama sekali dengan penghormatan kepada Cak Nur. Cak Nur tetap kita hormati dan terhormat dengan sendirinya ketika pemikiran-pemikirannya turut memperkaya khazanah pemikiran Islam Indonesia. Cak Nur adalah sedikit tokoh yang pemikiran briliyannya didengar betul oleh paling tidak empat presiden dari Soeharto sampai Gur Dur.


BIAS FIGUR DALAM KERJA

            Kedua, bias personalisasi dalam realitas kolektif. Sesungguhnya perumusan NDP dihasilkan dari kerja kolektif, bukan individual. Beberapa bagian NDP jelas dikerjakan oleh kader muda HmI lainnya, seperti Endang Saefudin Anshari, Saqib Mahmud, M Dawam Rahardjo dan yang lain. Bukan tidak mungkin terjadi benturan ide dan paradigma satu sama lain. Penguapan konsistensi ideologi dapat berbanding lurus pada wilayah ini.

Ketiga, pada saat itu, arus pemikiran keislaman disemarakkan oleh pertentangan yurisprudensi simbolis antara berbagai organisasi Islam tradisional dan modernis; disisi lain, terbatasnya wacana keislaman alternatif dan referensi-ditandai dengan sangat minimalnya peredaran buku-buku pemikiran keislaman berbahasa indonesia-turut memainkan peranan yang tidak sedikit pada gaya bahasa, kedalaman bahasan dan kelengkapan tema NDP. Apalagi saat itu HmI sedang berada pada dua arus besar konflik politis-ideologis dengan CGMI dan rezim transisional dari Orla ke Orba.

Dengan seluruh fenomena diatas, wacana-wacana keagamaan alternati-yang mungkin bukan sesuatu yang “luar biasa” dimasa kini-seperti mendapat  momentum. Pemikiran-pemikiran radikal, Ahmad Wahib misalnya, menjadi sesuatu yang wah diperhadapkan dengan pemikiran-pemikiran keislaman konvensional saat itu.

Pada posisi inilah kita dapat mencoba memahami mengapa dalam suatu kurun waktu yang panjang, NDP menjadi sesuatu yang khas dan sulit untuk dikoreksi. Keterjagaan momentum ini, secara alamiah, terus “dilestarikan”  dengan semakin gemilangnya tokoh-tokoh perumus NDP dalam konstelasi pemikiran sosial keagamaan di Indonesia. Hal berbeda mungkin akan kita temukan seandainya para perumus NDP berevolusi sebagai orang-orang kebanyakan sehingga tidak populer.

Akhirnya, kita juga paham mengapa banyak kader tidak memahami naskah NDP, meskipun membaca berulang kali. Ketidakmengertian dinisbahkan pada kebekuan intelektual mereka dan bukan pada naskahnya. Setiap kali selesai membaca yang berakhir dengan kebingungan, setiap kali itu pula kader seakan berkata bahwa ia ternyata begitu bodoh dan masih saja bodoh meskipun telah membaca referensi-referensi lainnya.


PENGAPURAN INTELEKTUAL

Keempat, pengapuran intelektualisme, akibat semakin menggejalanya wacana politis praktis ketimbang intelektualisme. HMI yang menang perang bharatayudha melawan PKC/CGMI dan anasir Orla lainnya seperti ketiban pulung. Gelombang besar mahasiswa yang mendaftar sebagai kader baru pasca Orla ternyata tidak berdampak signifikan pada pembaruan dan pematangan teologis. Memang format dan materi perkaderan senantiasa terus berkembang, tapi semua itu tidak dibarengi dengan peninjauan ulang seluruh nilai yang menjadi landasan ideologis HmI.

Perkembangan struktural konstelasi politik dan kesibukan lainnya membuat kader alumni-alumni HmI boleh dikata tidak dapat lagi mencurahkan sedikit perhatian kepada materi-materi utama perkaderan yang mendasar. Bahkan fenomena bombastis diatas dijadikan salah satu alasan untuk tidak menoreh ttinta merah pada materi ideologi. Apalahi yang harus diotak-atik, kalau dengan keadaan sekarang saja HmI sudah begitu besar, kader-kadernya banyak yang sudah menjadi orang dan menjadi motor diwilayah strategis.

Alaih-alih memperbarui, keberadaan NDP diperkokoh dengan polesan dalil-dalil ayat suci sebagai lampiran untuk mencuatkan dimensi keagamaan naskah tersebut. Kongres diadakan sebagai legitimasi naskah. Padahal, perangkat hukum yang menopang bagi kemungkinan diadakannya sebuah rekonstruksi naskah ideologi sudah cukup memadai.

Lengkaplah sudah mistifikasi NDP. Ia merupakan naskah suci, sakral sehingga anti kritik. Padahal, sakaralisasi pada segala sesuatu selain Allah adalah praktik kemusyrikan. (Anandito)
           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar